Senin, 03 September 2012

Tipologi Kepemimpinan


Menurut beberapa kelompok sarjana (dalam Kartono, 2003); Shinta (2002) membagi Tipe Kepemimpinan sebagai berikut :
Macam – macam Tipe Kepemimpinan  (personal Leadirship)
1. Tipe Kepemimpinan Kharismatis
Tipe kepemimpinan karismatis memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaan yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bisa dipercaya. Kepemimpinan kharismatik dianggap memiliki kekuatan ghaib (supernatural power) dan kemampuan-kemampuan yang superhuman, yang diperolehnya sebagai karunia Yang Maha Kuasa. Kepemimpinan yang kharismatik memiliki inspirasi, keberanian, dan berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri. Totalitas kepemimpinan kharismatik memancarkan pengaruh dan daya tarik yang amat besar.
2. Tipe Kepemimpinan Paternalistis/Maternalistik
Kepemimpinan paternalistik lebih diidentikkan dengan kepemimpinan yang kebapakan dengan sifat-sifat sebagai berikut: (1) mereka menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak/belum dewasa, atau anak sendiri yang perlu dikembangkan, (2) mereka bersikap terlalu melindungi, (3) mereka jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan sendiri, (4) mereka hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif, (5) mereka memberikan atau hampir tidak pernah memberikan kesempatan pada pengikut atau bawahan untuk mengembangkan imajinasi dan daya kreativitas mereka sendiri, (6) selalu bersikap maha tahu dan maha benar.
Sedangkan tipe kepemimpinan maternalistik tidak jauh beda dengan tipe kepemimpinan paternalistik, yang membedakan adalah dalam kepemimpinan maternalistik terdapat sikap over-protective atau terlalu melindungi yang sangat menonjol disertai kasih sayang yang berlebih lebihan.
3. Tipe Kepemimpinan Militeristik
Tipe kepemimpinan militeristik ini sangat mirip dengan tipe kepemimpinan otoriter. Adapun sifat-sifat dari tipe kepemimpinan militeristik adalah: (1) lebih banyak menggunakan sistem perintah/komando, keras dan sangat otoriter, kaku dan seringkali kurang bijaksana, (2) menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan, (3) sangat menyenangi formalitas, upacara-upacara ritual dan tanda-tanda kebesaran yang berlebihan, (4) menuntut adanya disiplin yang keras dan kaku dari bawahannya, (5) tidak menghendaki saran, usul, sugesti, dan kritikan-kritikan dari bawahannya, (6) komunikasi hanya berlangsung searah.
4. Tipe Kepemimpinan Otokratis (Outhoritative, Dominator)
Kepemimpinan otokratis memiliki ciri-ciri antara lain: (1) mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan mutlak yang harus dipatuhi, (2) pemimpinnya selalu berperan sebagai pemain tunggal, (3) berambisi untuk merajai situasi, (4) setiap perintah dan kebijakan selalu ditetapkan sendiri, (5) bawahan tidak pernah diberi informasi yang mendetail tentang rencana dan tindakan yang akan dilakukan, (6) semua pujian dan kritik terhadap segenap anak buah diberikan atas pertimbangan pribadi, (7) adanya sikap eksklusivisme, (8) selalu ingin berkuasa secara absolut, (9) sikap dan prinsipnya sangat konservatif, kuno, ketat dan kaku, (10) pemimpin ini akan bersikap baik pada bawahan apabila mereka patuh.
5. Tipe Kepemimpinan Laissez Faire
Pada tipe kepemimpinan ini praktis pemimpin tidak memimpin, dia membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semaunya sendiri. Pemimpin tidak berpartisipasi sedikit pun dalam kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan tanggung jawab harus dilakukan oleh bawahannya sendiri. Pemimpin hanya berfungsi sebagai simbol, tidak memiliki keterampilan teknis, tidak mempunyai wibawa, tidak bisa mengontrol anak buah, tidak mampu melaksanakan koordinasi kerja, tidak mampu menciptakan suasana kerja yang kooperatif. Kedudukan sebagai pemimpin biasanya diperoleh dengan cara penyogokan, suapan atau karena sistem nepotisme. Oleh karena itu organisasi yang dipimpinnya biasanya morat marit dan kacau balau.
6. Tipe Kepemimpinan Populistis
Kepemimpinan populis berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisonal, tidak mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan hutang luar negeri. Kepemimpinan jenis ini mengutamakan penghidupan kembali sikap nasionalisme.
7. Tipe Kepemimpinan Administratif/Eksekutif
Kepemimpinan tipe administratif ialah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-tugas administrasi secara efektif. Pemimpinnya biasanya terdiri dari teknokrat-teknokrat dan administratur-administratur yang mampu menggerakkan dinamika modernisasi dan pembangunan. Oleh karena itu dapat tercipta sistem administrasi dan birokrasi yang efisien dalam pemerintahan. Pada tipe kepemimpinan ini diharapkan adanya perkembangan teknis yaitu teknologi, indutri, manajemen modern dan perkembangan sosial ditengah masyarakat.
8. Tipe Kepemimpinan Demokratis
Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal (pada diri sendiri) dan kerjasama yang baik. kekuatan kepemimpinan demokratis tidak terletak pada pemimpinnya akan tetapi terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompok.
Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu, mau mendengarkan nasehat dan sugesti bawahan. Bersedia mengakui keahlian para spesialis dengan bidangnya masing-masing. Mampu memanfaatkan kapasitas setiap anggota seefektif mungkin pada saat-saat dan kondisi yang tepat.




Tipe gaya kepemimpinan yang mempengaruhi sebuah organisasi dapat dibedakan sebagai berikut :

1.       Tipe Instruktif
Tipe ini ditandai dengan adanya komunikasi satu arah.  Pemimpin membatasi peran bawahannya dan menunjukan kepada bawahannya apa, kapan dan dimana, bagaimana suatu tugas harus dilaksanakan. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan semata-mata menjadi wewenang pemimpin yang kemudian diumumkan kepada para bawahan. Pelaksanaan pekerjaan diawasi ketat oleh pemimpin.
Ciri-ciri pemimpin seperti ini adalah sebagai berikut :
a.     Pemimpin memberikan pengarahan tinggi dan rendah dukungan
b.      Pemimpin memberikan batasan peranan bawahan
c.       Pemimpin memberitahukan bawahan tentang apa, bilamana, dimana dan bagaimana bawahan melaksanakan tugasnya
d.      Iniosiatif pemecahan masalah dan pengambilan keputusan semata-mata dilakukan oleh pimpinan
e.       Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan diumumkan oleh pemimpin dan pelaksanaannya diawasi dengan ketat oleh pemimpin.

2.       Tipe konsultatif
Tipe kepemimpinan ini masih memberikan instruksi yang cukup besar serta penetapan keputusan-keputusan dilakukan oleh pemimpin. Bedanya adalah bahwa tipe konsultatif ini menggunakan komunikasi dua arah dan memberikan suportif terhadap bawahan mendengar keluhan dan perasaan bawahan tentang keputusan yang diambil. Sementara bantuan ditingkatkan, pengawasan atas pelaksanaan keputusan tetap pada pemimpin.
Ciri-ciri pemimpin seperti ini adalah sebagaiberikut :
a.         Pemimpin memberikan baik pengarahan maupun dukungan tinggi
b.         Pemimpin mengadakan komunikasi dua arah dan berusaha mendengarkan perasaan, gagasan dan saran bawahan
c.         Pengawasan dan pengambilan keputusan tetap pada pemimpin.

3.       Tipe Partisipatif
Sebab kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan  seimbang antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin dan bawahan sama-sama terlibat dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.  Komunikasi dua arah makin bertambah frekuensinya, pemimpin makin mendengarkan secara intensif terhadap bawahannya. Keikutsertaan bawahan dalam pemecahan masalah dan mengambil keputusan makin banyak, sebab pemimpin berpendapat bahwa bawahan telah memiliki kecakapan dan pengetahuan yang cukup luas untuk menyelesaikan tugas.

Penafsiran Hukum


Dalam hal berlakunya hukum pidana tidak dapat dihindari adanya penafsiran (interpretatie) karena hal-hal sebagai berikut :
  1. Hukum tertulis sering tidak adapat mengikuti arus perkembangan masyarakat. Logemann mengemukakan bahwa tiap-tiap undang-undang sebagai bagian hukum positif, bersifat statis dan tak dapat mengikuti perkembangan kemasyarakatan, yang menimbulkan “ruangan kosong”. Maka para hakimlah yang bertugas untuk mengisi ruang kosong itu dengan jalan mempergunakan penafsiran, dengan syarat bahwa dalam menjalankan mereka tidak boleh memperkosa maksud dan jiwa undang-undang, mereka tidak boleh sewenang-wenang.
  2. Ketika hukum tertulis dibentuk, ada hal-hal yang tidak diatur karena tidak menjadi perhatian pembentuk undang-undang. Namun setelah undang-undang dibentuk dan dijalankan, baru muncul persoalan mengenai hal-hal yang tidak diatur tadi. Untuk memenuhi kebutuhan hukum dan mengisi kekosongan norma semacam ini, dalam keadaan yang mendesak dapat menggunakan suatu penafsiran.
  3. Keterangan yang menjelaskan arti beberapa istilah atau kata dalam undang-undang itu sendiri (Bab IX Buku I KUHP) tidak mungkin memuat seluruh istilah atau kata-kata penting dalam pasal-pasal perundang-undangan pidana, mengingat begitu banyaknya rumusan ketentuan hukum pidana. Pembentuk undang-undnag memberikan penjelasan hanyalah pada istilah atau unsur yang benar-benar ketika undnag-undang dibentuk dianggap sangat penting, ssuai dengan maksud dari dibentuknya norma tertentu yang dirumuskan. Dalam banyak hal, pembentuk undang-undang menyerahkan pada perkembangan praktik melalui penafsiran-penafsiran hakim. Oleh karena itu, salah satu pekerjaan hakim dalam menerapkan hukum ialah melakukan penafsiran hukum.
  4. Sering suatu norma dirumuskan secara singkat dan bersifat sangat umum sehingga menjadi kurang jelas maksud dan artinya. Oleh karena itu, dalam menerapkan norma tadi akan menemukan kesulitan. Untuk mengatasi kesulitan itu dilakukan dengan menafsirkan. Dalam hal ini hakim bertugas untuk menemukan pikiran-pikiran apa yang sebenarnya yang terkandung dalam norma tertulis. Contohnya dalam rumusan Pasal 1 (2) KUHP perihal unsur ”aturan yang paling menguntungkan terdakwa” mengandung ketidakjelasan arti dan maksud dari ”aturan yang paling menguntungkan. Hal tersebut dapat menimbulkan bermacam pendapat hukum dari kalangan ahli hukum. Timbulnya beragam pendapat seperti ini karena adanya penafsiran.
Penafsiran bertujuan untuk mencari dan menemukan kehendak pembentuk undang-undang yang telah dinyatakan oleh pembuat undang-undang itu secara kurang jelas.
Untuk (KUHP) tidak memberikan petunjuk tentang bagaimana cara hakim untuk melakukan penafsiran. Cara-cara penafsiran ada dalam doktrin hukum pidana. Untuk melakukan penafsiran, cara yang akan digunakan diserahkan pada praktik hukum. Hanya saja terhadap suatu cara penafsiran telah terjadi perbedaan pendapat yaitu terhadap penggunaan penafsiran analogi, dimana ada sebagian pakar hukum yang keberatan berkaiatan dengan masalah asas legalitas tentang berlakunya hukum pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.


Jenis-Jenis Penafsiran :
1. Penafsiran Autentik
Jenis ini adalah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk UU, atau penafsiran ini sudah ada dalam penjelasan pasal demi pasal,  misalnya Pasal 98 KUHP : arti waktu ”malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; Pasal 101 KUHP: “ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi (periksa KUHP Buku I Titel IX). Dikatakan penafsiran otentik karena tertulis secara resmi dalam undang-undang artinya berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum yakni hakim. Dalam penafsiran bermakna hakim kebebasannya dibatasi. Hakim tidak boleh memberikan arti diluar dari pengertian autentik. Sedangkan diluar KUHP penafsiran resmi dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan umum dan penejelasan pasal demi pasal.
2. Penafsiran Tata Bahasa (gramaticale interpretatie)
- Hakim harus memperhatikan arti yang lazim suatu perkataan di dalam penggunaan bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat yang bersangkutan, atau hubungan antara suatu perkataan dengan perkataan lainnya. Bekerjanya penafsiran ini ialah dalam hal untuk mencari pengertian yang sebenarnya dari suatu rumusan norma/unsurnya.
- Sebagai contoh dapat dikemukakan hal yang berikut : Suatu peraturan perundangan melarang orang memarkir kendaraannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan istilah “kendaraan” itu. Orang lalu bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan “kendaraan” itu, Apakah hanya kendaraan bermotor saja ataukah termasuk juga sepeda.
- Contoh lain kata “dipercayakan” sebagaimana dirumuskan dalam dalam pasal 432 KUHP secara gramatikal diartikan dengan “diserahkan”, kata “meninggalkan” dalam pasal 305 KUHP diartikan secara gramatikal dengan “menelantarkan”.
3. Penafsiran Historis (historiche interpretatie)
- Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan, misalnya rancangan UU, memori tanggapan pemerintah, notulen rapa/sidang, pandangan-pandangan umum, dll.
- Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk UU pada waktu membuat UU itu, misalnya denda f 25.-, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik Indonesia sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP.
4. Penafsiran Sistematis/Dogmatis (systematische interpretatie)
- Dalam penafsiran ini hakim menggantungkan penjelasan suatu ketentuan pada sistem peraturan-peraturan dalam mana peraturan bersangkutan terhisap.
- Penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam UU itu maupun dengan UU yang lainnya misalnya ”ketentuan paling menguntungkan” dalam rumusan ayat 2 dari Pasal 1 KUHP apabila dihubungkan dengan rumusan ayat 1 pasal 1 KUHP yang merumuskan ”suatu perbuatan dapat dipidana kecuali bedasarkan kekuatan ketentuan peundang-undangan pidana yang telah ada, pengetiannya adalah suatu ketentuan tentang tidak dapat dipidanya perbuatan.
- Artinya semula perbuatan tetentu dipidana, kemudian menurut ketentuan yang baru menjadi tidak dapat dipidana. Misalnya sebulan yang lalu A melakukan perbuatan pidana yang dapat dihukum, kemudian hari ini muncul UU yang mengatur perbuatan pidana tesebut tidak dapat dihukum. Dengan demikian yang dibelakukan adalah UU pidana baru yang menguntungkan
5. Penafsiran Logis (Logische Interpretatie)
Adalah suatu macam penafsiran dengan cara menyelidiki untuk mencari maksud sebenarnya dari dibentuknya suatu rumusan norma dalam UU dengan menghubungkannya (mencari hubungannya) denagan rumusan norma yang lain atau dengan undang-undang yang lain yang masih ada sangkut-pautnya dengan rumusan norma tersebut (lihat pasal 55 KUHP).
6. Penafsiran Teleologis (Teleologische Interpretatie)
Penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan UU itu. Ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi UU tetap sama saja. Contoh pada saat masih berlakunya UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (dicabut dengan UU No. 26 tahun 1999), di dalam menafsirkan rumusan yang ada dalam UU itu mengenai suatu kasus tertentu, selalu didasarkan pada maksud dari pembentuk UU itu, yaitu untuk memberantas setiap perbuatan atau upaya-upaya yang menggangu dan menggoyang kelangsungan dan atau kestabilan kekuasaan pemerintahan negara ketika itu.
7. Penafsiran Funksional (Funksional Interpretatie)
Dalam hal mana hakim memperhitungkan fungsi ketetuan undang-undang pidana yang harus dilaksanakan, dalam kehidupan bersama kini.
8. Penafsiran Sosiologis
Penafsiran oleh hakim dengan memperhatikan keperluan yang ada di dalam masyarakat, dengan catatan bahwa hakim harus menjaga jangan sampai mereka mengambil alih tugas dan kewenangan badan legislatif.
9. Penafsiran Esktensif
Memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkannya seperti “aliran listrik” termasuk juga “benda”. Jadi, penafisran ekstensif didasarkan makna norma itu menurut keadaan yang sekarang yang atinya ada perubahan makna dari sesuatu pengertian unsur-unsur rumusan atau umusan suatu norma (hampir sama dengan analogi).

10. Penafsiran a Contrario (menurut peringkaran)
- Suatu cara menafsirkan UU yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal UU. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal tersebut.
- Penafsiran ini diterangkan oleh Satochid Kartanegara bahwa ”keadaan ini kita jumpai apabila terdapat beberapa hal yang diatur dengan tegas oleh UU, tetapi disamping itu tedapat pula hal-hal, yang sandaran maupun sifatnya sama, tidak diatur denagan tegas oleh UU, sedang hal-hal ini tidak diliputi oleh UU yang mengatur hal-hal tegas ini (lihat Pasal 285 KUHP).
11. Penafsiran Analogis
- Penafsiran Analogis memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya  tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut (ada rasio persamannya kejadian konkretnya terhadap noma-noma tesebut).
- Misalnya pasal 388 ayat (1) yang melarang orang melakukan pebuatan curang pada waktu menyerahkan keperluan angkatan laut atau angkatan darat yang dapat membahayakan keselamatan negaa dalam keadaan perang. Jadi tidak ada diatur keperluan angkatan udara.
- Tetapi dengan menggunakan penafsirang analogis, maka jika terjadinya menyerahkan pada angkatan udara maka pasal ini juga dapat dikenakan karena pada dasar fungsi, peranan dan tugas angkatan laut dan darat juga sama dengan tugas angkatan udara yaitu dalam usaha perlindungan keselamatan dan keamanan negara

CONTOH PROPOSAL PENELITIAN


PENELITIAN
JUDUL                    :   ANALISIS PERGESERAN SEKTOR  EKONOMI PRODUKTIF DI KABUPATEN BUTON TAHUN 2002 - 2012
PELAKSANA         :  
WAKTU                  :  

I. PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah

Perkembangan daerah sebagai integral dari pembangunun nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme ( undang-undang otonomi daerah, 1999 ). Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai sub sistem pemerintah negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat sebagai otonomi. Daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.

Kunci pembangunan daerah dalam mencapai sasaran pembangunan nasional secara efisien dan efektif adalah perencanaan koordinasi dan keterpaduan antara sektor pembangunan, sektor tersebut di daerah disesuaikan dengan kondisi dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Tujuan pembangunan dalam kebijakan pembangunan daerah adalah untuk menyelaraskan pertumbuhan dan mengurangi kesenjangan dan tingkat kemajuan antar daerah, melalui pembangunan serasi dan terpadu antar sektor pembangunan daerah yang efisien dan efektif menuju tercapainya kemandirian daerah.

Secara makro pertumbuhan atau PDRB dari tahun ke tahun merupakan salah satu indikator dari keberhasilan pembangunan daerah dimana dalam hal ini PDRB dikategorikan dalam berbagai sektor ekonomi yaitu :

1.      Sektor Pertanian
2.      Sektor Pertambangan dan Penggalian
3.      Sektor Industri Pengolahan
4.      Sektor Listrik,Gas, Dan Sektor Air Bersih
5.      Sektor Bangunan
6.      Sektor Perdaganagn, Hotel, dan Restoran
7.      Sektor Angkutan Dan Komunikasi
8.      Sektor Keuangan, Persewaan, Dan  Jasa Perusahaan
9.      Sektor Jasa-Jasa

Pertumbuhan PDRB tidak lepas dari peran setiap sektor-sektor ekonomi tersebut di atas, besar kecilnya kontribusi pendapatan setiap sektor ekonomi merupakan hasil perencanaan secara sektoral yang dilaksanakan di daerah.

Masalah utama di dalam pelaksanaan pembangunan di daerah adalah kurang mampunya pemerintah daerah melaksanakan strategi perencanan yang matang serta kurang jelinya pemerintah daerah dalam melihat pergeseran-pergeseran yang terjadi dari tahun ke tahun dalam sektor ekonomi. Disinilah peranan Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA) cukup dominan dalam menentukan arah serta rencana pembangunan daerah agar pembangunan di daerah berjalan sesuai prioritas sektor yang diinginkan.
Dari latar belakang masalah yang diuraikan, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang Analisis Pergeseran Sektor Ekonomi Produktif di Kabupaten Buton Tahun 2002 - 2012